Perang menentang penguasa yang menyimpang
Peperangan jenis ini, dalam fiqih Islam dikenal dengan beberapa istilah, seperti al-khurûj (pemisahan diri), ats-tsaurah (pemberontakan atau kudeta), an-nuhûdl (kebangkitan), al-fitnah (fitnah), qitâl azh-zhulmah (memerangi kezhaliman), qitâl al-umarâ (memerangi penguasa), inqilâb (revolusi), harakat tahririyah li tashîh al-auda (gerakan pembebasan untuk perbaikan), harb ahliyah (perang saudara),
Yang
perlu diingat, peperangan jenis ini berada dalam bingkai Daulah
Khilafah Islamiyah, yakni tatkala di dalamnya tampak penyelewengan
penguasa dalam:
1. Meninggalkan shalat, puasa, atau rukun Islam lainnya.
2. Tidak menegakkan rukun Islam di tengah-tengah masyarakat.
3. Melakukan kemaksiatan secara terang-terangan.
4. Melakukan kekufuran secara terang-terangan.
Peperangan jenis ini memerlukan burhân (bukti) yang pasti bahwa Khalifah benar-benar telah menyimpang dari hukum Islam yang qath’i dengan
menjalankan kekufuran. Dalam kondisi semacam ini, seorang Khalifah
harus dilengserkan dan dianggap murtad. Jika ia melawan, maka perang
melawannya dapat dikategorikan sebagai jihad. Jika Khalifah hanya
melakukan penyelewengan saja, tidak sampai melakukan kekufuran secara
terang-terangan tetapi mengharuskan dirinya dilengserkan dari
kedudukannya sebagai Khalifah, sementara ia tidak bersedia diturunkan,
maka perang melawannya sama dengan melawan bughât, tidak dikategorikan sebagai jihad19.
Perang fitnah (perang saudara)
Perang
saudara disini maksudnya adalah perang antara dua pihak atau lebih yang
melibatkan kaum Muslim yang tidak dibenarkan oleh syariat Islam. Contoh
yang paling mudah untuk perang saudara ini adalah apa yang terjadi dan
dialami oleh kaum Muslim di Afghanistan (pada masa pemerintahan
Thaliban).
Perang saudara semacam ini tidak digolongkan sebagai jihad fi sabilillah. Bahkan, banyak hadits yang melarangnya, sementara para pelakunya diancam akan dimasukkan ke dalam neraka.
Perang melawan perampas kekuasaan
Kekuasaan
itu ada di tangan rakyat (umat). Demikian kesimpulan dari berbagai
hadits yang menyangkut bai’at. Bai’at berasal dari umat yang diberikan
kepada Rasulullah saw, atau para Khalifah setelah beliau. Artinya, orang
yang memperoleh kekuasaan bukan melalui tangan umat atau melalui
paksaan dianggap sebagai pihak yang merampas kekuasaan.
Perang melawan pihak yang merampas kekuasaan tidak digolongkan sebagai jihad. Meskipun
demikian, dalam kasus ini, terdapat dua pendapat yang berbeda di
kalangan sahabat. Ali bin Abi Thalib ra menganggapnya sebagai jihad.
Sikap beliau diwujudkan dalam tindakannya, yakni tidak memandikan
jenazah para sahabatnya yang gugur dalam perang Shiffin.
Sebaliknya
adalah pendapat Asma binti Abubakar. Ia memandikan anaknya, yakni
Abdullah bin Zubair tatkala berperang melawan pihak yang merampas
kekuasan, yaitu Marwan bin Hakam20.
Perang melawan ahlu dzimmah
Ahlu dzimmah adalah setiap orang non muslim yang menjadi rakyat (warga negara) Daulah Islamiyah dan dibiarkan memeluk agamanya21. Ahlu dzimmah adalah orang yang terikat perjanjian dengan Daulah Islamiyah serta memperoleh dzimmah
(jaminan) dari negara atas jiwa, kehormatan dan harta bendanya. Oleh
karena itu, pelanggaran terhadap perjanjian tersebut dapat menggugurkan
status dzimmah mereka.
Pelanggaran
tersebut mencakup setiap perkara yang mengganggu atau menghilangkan
harta benda, jiwa dan kehormatan kaum Muslim, seperti (1) membantu
menyerang kaum Muslim, (2) membunuh kaum Muslim, (3) merampok harta
benda kaum Muslim, (4) menjadi perusuh, (5) membocorkan rahasia kaum
Muslim kepada musuh, (6) menodai kehormatan wanita muslimah, (7)
mempengaruhi kaum Muslim agar memeluk agama mereka yang kafir.
Berbagai pelanggaran ini jika dilakukan oleh ahlu dzimmah dapat menggugurkan dzimmah (jaminan) negara atas keselamatan harta benda, kehormatan dan jiwa mereka.
Perang melawan ahlu dzimmah semacam ini termasuk jihad fi sabilillah. Alasannya, status mereka pada kondisi demikian telah berubah menjadi kafir harbi, karena mereka telah kehilangan dzimmahnya. Kasus semacam ini akan dihadapi jika mereka benar-benar melakukan konspirasi bersama dengan orang-orang kafir harbi untuk menyerang kaum Muslim22.
Perang untuk menegakkan Daulah Islamiyah
Untuk mengetahui pakah perang jenis ini temasuk jihad fi sabilillah atau
bukan, harus dicermati dulu faktanya. Pertama, jika sasaran perang
dalam rangka menegakkan Daulah Islamiyah itu berasal dari kalangan kaum
Muslim yang tidak setuju dengan tegaknya Daulah Islamiyah, maka perang
jenis ini dimasukkan ke dalam perang melawan bughat. Kedua,
perang melawan ahlu dzimmah yang tidak mau tunduk kepada Daulah Islamiyah yang baru berdiri, maka peperangannya dianggap sebagai jihad melawan orang-orang kafir harbi.
Ketiga, perang melawan negeri-negeri Islam yang tidak mau bergabung
dalam naungan Daulah Islamiyah. Perang jenis ini dimasukkan sebagai
perang melawan bughât. Keempat, perang melawan penjajah atau
negara-negara kafir yang tidak ingin melihat berdirinya Daulah
islamiyah. Perang jenis ini digolongkan sebagai jihad fi sabilillah.
Perang untuk menyatukan negeri-negeri Islam
Perang
untuk menyatukan negeri-negeri Islam pada dasarnya tergolong perang
untuk menegakkan kalimat Allah. Meskipun demikian, perlu dicermati
sasarannya. Jika yang diperangi adalah orang-orang kafir atau ahlu dzimmah yang
telah mencampakkan perjanjiannya, maka melawan mereka dikategorikan
sebagai jihad. Akan tetapi, jika yang diperangi adalah sesama kaum
Muslim yang teguh pada nasionalisme atau kebangsaannya, sementara mereka
dijadikan alat oleh negara-negara kafir untuk melawan sesama kaum
Muslim, maka perang melawan mereka tidak dikategorikan sebagai jihad fi sabilillah23.
Berdasarkan
uraian singkat ini, kaum Muslim bisa lebih berhati-hati dalam menyikapi
provokasi, ajakan, maupun seruan-seruan jihad yang disalahgunakan oleh
banyak pihak yang didasarkan pada kepentingan politik tertentu.
Alih-alih mengharapkan mati syahid, yang diperoleh ternyata mati konyol.
Na’udzi billahi min dzalika.